Sungai Komering mengalir tenang, menyusuri dada Sumatera Selatan, seperti urat nadi yang tak pernah lelah mengalirkan kehidupan. Di sepanjang alirannya, jejak budaya dan sejarah mengendap dalam senyap. Dan di sanalah, di tengah riak air dan bisik angin, aku mencari biduk perahu kayu tradisional yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan orang Komering.
Biduk bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah simbol kehidupan, perantara antara manusia dan alam, antara kampung dan kampung, antara masa lalu dan masa depan. Tapi hari ini, biduk kian langka. Ia seolah menyusut di tengah gelombang modernitas, ditelan mesin dan waktu.
Perjalananku dimulai di Kayu Agung, sebuah kota yang tumbuh di tepian sungai. Di dermaga kecil yang setengah hidup, hanya ada satu-dua perahu motor yang bersandar malas. Biduk? Hampir tak terlihat. Aku bertanya kepada seorang lelaki tua yang sedang menjemur jaring ikan.
"Biduk? Sudah jarang, Nak. Anak-anak muda sekarang lebih suka speedboat. Cepat, katanya. Tidak repot pakai dayung."
Ia tertawa kecil, pahit, lalu melanjutkan menggulung jaringnya. Tapi matanya seperti menyimpan kenangan yang tak ikut tenggelam.
Aku melanjutkan pencarian ke hulu, menyusuri sungai hingga ke pedalaman. Di sebuah dusun kecil yang seperti dilupakan peta, akhirnya aku menemukannya: sebatang biduk tua, bersandar di bawah pohon nyatoh, ditutupi ilalang dan lumut. Di dalamnya, daun-daun kering menumpuk seperti buku harian alam yang tak pernah terbaca.
Biduk itu tak lagi digunakan. Pemiliknya, seorang kakek bernama Pak Nur, dengan senyum sabar memperbolehkanku duduk di dalamnya.
"Dulu," katanya, "aku dayung biduk ini ke pasar. Bawa buah, ikan, kadang beras. Tapi sekarang, sudah tak kuat lagi mendayung. Anak-anak juga tak mau belajar."
Aku menyentuh dinding kayu biduk yang sudah mulai rapuh. Tapi entah mengapa, ia tetap terasa hidup seperti menyimpan bisikan masa lalu: tawa anak-anak yang bermain air, suara tabuhan rebana dari hulu, dan deru langkah kaki yang dulu turun naik dari badan biduk ini ke tepian sungai.
Mencari biduk di Sungai Komering bukan sekadar mencari perahu. Ia adalah upaya menelusuri akar identitas, menyentuh denyut sejarah yang perlahan memudar. Biduk mengingatkan kita bahwa kemajuan bukan hanya soal kecepatan, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga yang pelan, yang hening, dan yang dalam.
Malam itu, di tepian Komering yang sepi, aku memandangi air yang terus mengalir. Biduk tua itu tetap diam, tapi dalam diamnya, ia seolah berkata:
"Aku masih di sini. Menunggu kalian kembali."
mumet saya berusaha keras tuk mengerti pembahasannya mas.. jelas sekali perbedaan budaya, mka, beda pula cra pengungkapan.. :(
BalasHapusMerliza
salam kenal gan . . . :)
BalasHapusboleh tukeran link dengan blog saya yg masih kencur gan . . . ?