"Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda (keagungan Kami) yang terdapat di langit dan bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin."
(QS. Al-An’am: 75)
Akhir-akhir ini, benakku seakan dikepung oleh satu kata yang terus menggaung: Tuhan.
Tuhan, Tuhan, dan Tuhan.
Ia hadir, bukan sebagai jawaban, tapi sebagai tanya yang tak selesai.
Lima tahun lalu, aku sampai pada sebuah simpulan getir:
Tuhan dan agama hanyalah konstruksi sosial,
semacam tirai yang dijahit manusia untuk menutupi ketakberdayaannya.
Lenin pun pernah berkata dalam Collected Works,
“Impotensi kelas tertindas melawan eksploitatornya membangkitkan keyakinan kepada Tuhan, jin-jin, keajaiban, dan sejenisnya...”
Dan entah bagaimana, kata-kata itu terasa begitu masuk akal waktu itu.
Aku tumbuh dalam keluarga yang religius.
Sejak kecil aku dijejali kisah-kisah langit dan hukum-hukum yang mesti diikuti dengan taat.
Tuhan adalah nama yang akrab di telinga juga rasa takut yang mengakar di hati.
Lama-lama, bangunan itu mengeras menjadi identitas.
Namun, di semester IV kuliah, mulai ada retakan-retakan.
Rasa ragu menyelinap, pelan tapi pasti.
Aku mulai mencabut paku-paku keyakinan yang tertanam sejak bocah.
Ironisnya, aku tak pernah punya argumen pasti atas keraguan itu.
Jika kau bertanya padaku, “Kenapa kau ragu?”
Mungkin aku akan menjawab:
Buktikan padaku bahwa keraguanku salah.
Buktikan bahwa Tuhan ada, bahwa kita harus bergantung pada-Nya,
bahwa akan ada hari pengadilan setelah kematian.
Tapi mereka yang kutanya tak pernah memberi jawab yang memuaskan.
Yang kudapat hanyalah penjelasan kabur dan janji-janji yang menggantung di awan.
Sampai akhirnya, aku memilih satu simpulan paling radikal: anihilisasi total atas Tuhan.
“Gersang,” komentar seorang sahabat melihat hidupku.
Ia tersenyum getir, lalu berkata,
“Tuhan itu nyata.”
Aku menjawab, “Tunjukkan Dia jika Dia ada.”
Dan ia berkata pelan,
“Tunjukkan dulu pertanyaanmu.
Buat aku melihat keresahanmu,
baru akan kutunjukkan di mana Tuhan hadir.”
Aku terdiam.
Sejak hari itu, pertanyaan itu justru tumbuh.
Semakin besar.
Seperti noktah yang awalnya kecil, lalu perlahan menelan seluruh ruang benakku.
Aku mulai gelisah.
Kenapa konsep Tuhan yang dulu telah kubuang kini kembali membebani benak?
Kenapa penolakan tak membuatku tenang,
melainkan membuat jiwa terasa hampa?
Aku pernah berkata:
"Aku tak bisa menerima apa yang tak bisa ditangkap oleh indra."
Tuhan, contohnya.
Aku tak pernah melihat-Nya, berbicara, atau berjabat tangan dengan-Nya.
Namun, bagaimana aku bisa meyakini cinta, takut, rindu, dan harapan?
Apakah mereka ada hanya karena dapat dirasa?
Atau karena mereka benar-benar nyata meski tak kasat mata?
Seorang psikolog, Jung, pernah menyebut:
Tuhan, cinta, takut semuanya bukan realitas fisik,
tapi realitas psikis.
Ia tak tampak, tapi hadir.
Tak berbentuk, tapi membekas.
Aneh.
Semakin aku menyangkal,
semakin aku merasa sedang dicari.
Maka untuk saat ini,
aku mulai belajar menerima bahwa mungkin
Tuhan adalah seperti hangatnya pelukan Ibu dan teguhnya genggaman Ayah,
senyum diam-diam seseorang yang selalu menyemangati langkahku,
semua yang tak bisa kusebut, tapi bisa kurasa.
"Dan tatkala Musa datang pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhannya telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa: 'Ya Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu'..."
(QS. Al-A’raf: 143)