Kamis, 27 Desember 2018

Gelisah

Aku resah aku gelisah

hahah..hahah..hahah...

begini salah begitu salah
hidup di negeri antah berantah
ah...ah..ahah ahah

jadi buruh diupah rendah
jadi tani tak ada tanah

yah..yah..yah

kritik ini salah
kritik itu salah

dibilang cebong lah
dibilang kampret lah...

semakin resah...
makin gelisah...
ya serba salah...

lalu kapan hidup ini indah...
tanpa fitnah..tanpa amarah..

ayo berbenah... mari berbenah
mari berjuang tanpa lelah..

Negeri ini harus berubah.....


Wans, Jogja

26 Desember 2018



Jumat, 17 September 2010

Titik Balik

"Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda (keagungan Kami) yang terdapat di langit dan bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin."
(QS. Al-An’am: 75)

Akhir-akhir ini, benakku seakan dikepung oleh satu kata yang terus menggaung: Tuhan.
Tuhan, Tuhan, dan Tuhan.
Ia hadir, bukan sebagai jawaban, tapi sebagai tanya yang tak selesai.

Lima tahun lalu, aku sampai pada sebuah simpulan getir:
Tuhan dan agama hanyalah konstruksi sosial,
semacam tirai yang dijahit manusia untuk menutupi ketakberdayaannya.
Lenin pun pernah berkata dalam Collected Works,
“Impotensi kelas tertindas melawan eksploitatornya membangkitkan keyakinan kepada Tuhan, jin-jin, keajaiban, dan sejenisnya...”
Dan entah bagaimana, kata-kata itu terasa begitu masuk akal waktu itu.

Aku tumbuh dalam keluarga yang religius.
Sejak kecil aku dijejali kisah-kisah langit dan hukum-hukum yang mesti diikuti dengan taat.
Tuhan adalah nama yang akrab di telinga juga rasa takut yang mengakar di hati.
Lama-lama, bangunan itu mengeras menjadi identitas.
Namun, di semester IV kuliah, mulai ada retakan-retakan.
Rasa ragu menyelinap, pelan tapi pasti.
Aku mulai mencabut paku-paku keyakinan yang tertanam sejak bocah.

Ironisnya, aku tak pernah punya argumen pasti atas keraguan itu.
Jika kau bertanya padaku, “Kenapa kau ragu?”
Mungkin aku akan menjawab:
Buktikan padaku bahwa keraguanku salah.
Buktikan bahwa Tuhan ada, bahwa kita harus bergantung pada-Nya,
bahwa akan ada hari pengadilan setelah kematian.
Tapi mereka yang kutanya tak pernah memberi jawab yang memuaskan.
Yang kudapat hanyalah penjelasan kabur dan janji-janji yang menggantung di awan.

Sampai akhirnya, aku memilih satu simpulan paling radikal: anihilisasi total atas Tuhan.

“Gersang,” komentar seorang sahabat melihat hidupku.
Ia tersenyum getir, lalu berkata,
“Tuhan itu nyata.”
Aku menjawab, “Tunjukkan Dia jika Dia ada.”
Dan ia berkata pelan,
“Tunjukkan dulu pertanyaanmu.
Buat aku melihat keresahanmu,
baru akan kutunjukkan di mana Tuhan hadir.”


Aku terdiam.
Sejak hari itu, pertanyaan itu justru tumbuh.
Semakin besar.
Seperti noktah yang awalnya kecil, lalu perlahan menelan seluruh ruang benakku.


Aku mulai gelisah.
Kenapa konsep Tuhan yang dulu telah kubuang kini kembali membebani benak?
Kenapa penolakan tak membuatku tenang,
melainkan membuat jiwa terasa hampa?


Aku pernah berkata:
"Aku tak bisa menerima apa yang tak bisa ditangkap oleh indra."
Tuhan, contohnya.
Aku tak pernah melihat-Nya, berbicara, atau berjabat tangan dengan-Nya.
Namun, bagaimana aku bisa meyakini cinta, takut, rindu, dan harapan?
Apakah mereka ada hanya karena dapat dirasa?
Atau karena mereka benar-benar nyata meski tak kasat mata?


Seorang psikolog, Jung, pernah menyebut:
Tuhan, cinta, takut semuanya bukan realitas fisik,
tapi realitas psikis.
Ia tak tampak, tapi hadir.
Tak berbentuk, tapi membekas.


Aneh.
Semakin aku menyangkal,
semakin aku merasa sedang dicari.


Maka untuk saat ini,
aku mulai belajar menerima bahwa mungkin
Tuhan adalah seperti hangatnya pelukan Ibu dan teguhnya genggaman Ayah,
senyum diam-diam seseorang yang selalu menyemangati langkahku,
semua yang tak bisa kusebut, tapi bisa kurasa.


"Dan tatkala Musa datang pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhannya telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa: 'Ya Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu'..."
(QS. Al-A’raf: 143)


Sabtu, 10 Oktober 2009

Mencari biduk Komering

Sungai Komering mengalir tenang, menyusuri dada Sumatera Selatan, seperti urat nadi yang tak pernah lelah mengalirkan kehidupan. Di sepanjang alirannya, jejak budaya dan sejarah mengendap dalam senyap. Dan di sanalah, di tengah riak air dan bisik angin, aku mencari biduk perahu kayu tradisional yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan orang Komering.

Biduk bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah simbol kehidupan, perantara antara manusia dan alam, antara kampung dan kampung, antara masa lalu dan masa depan. Tapi hari ini, biduk kian langka. Ia seolah menyusut di tengah gelombang modernitas, ditelan mesin dan waktu.

Perjalananku dimulai di Kayu Agung, sebuah kota yang tumbuh di tepian sungai. Di dermaga kecil yang setengah hidup, hanya ada satu-dua perahu motor yang bersandar malas. Biduk? Hampir tak terlihat. Aku bertanya kepada seorang lelaki tua yang sedang menjemur jaring ikan.

"Biduk? Sudah jarang, Nak. Anak-anak muda sekarang lebih suka speedboat. Cepat, katanya. Tidak repot pakai dayung."

Ia tertawa kecil, pahit, lalu melanjutkan menggulung jaringnya. Tapi matanya seperti menyimpan kenangan yang tak ikut tenggelam.

Aku melanjutkan pencarian ke hulu, menyusuri sungai hingga ke pedalaman. Di sebuah dusun kecil yang seperti dilupakan peta, akhirnya aku menemukannya: sebatang biduk tua, bersandar di bawah pohon nyatoh, ditutupi ilalang dan lumut. Di dalamnya, daun-daun kering menumpuk seperti buku harian alam yang tak pernah terbaca.

Biduk itu tak lagi digunakan. Pemiliknya, seorang kakek bernama Pak Nur, dengan senyum sabar memperbolehkanku duduk di dalamnya.

"Dulu," katanya, "aku dayung biduk ini ke pasar. Bawa buah, ikan, kadang beras. Tapi sekarang, sudah tak kuat lagi mendayung. Anak-anak juga tak mau belajar."

Aku menyentuh dinding kayu biduk yang sudah mulai rapuh. Tapi entah mengapa, ia tetap terasa hidup seperti menyimpan bisikan masa lalu: tawa anak-anak yang bermain air, suara tabuhan rebana dari hulu, dan deru langkah kaki yang dulu turun naik dari badan biduk ini ke tepian sungai.

Mencari biduk di Sungai Komering bukan sekadar mencari perahu. Ia adalah upaya menelusuri akar identitas, menyentuh denyut sejarah yang perlahan memudar. Biduk mengingatkan kita bahwa kemajuan bukan hanya soal kecepatan, tapi juga tentang bagaimana kita menjaga yang pelan, yang hening, dan yang dalam.

Malam itu, di tepian Komering yang sepi, aku memandangi air yang terus mengalir. Biduk tua itu tetap diam, tapi dalam diamnya, ia seolah berkata:

"Aku masih di sini. Menunggu kalian kembali."